Cintaku
Berujung doa
Saat itu, langit cerah menjadi saksi kesunyian jiwaku, Sang mentari
tega memandangku dengan teriknya, yang membuat hati yang hampa ini semakin
terbakar. Ketika angin menyapaku, aku hanya bisa terdiam bagai patung. Ketika
dahan pohon melambaikan tangannya untukku aku semakin membisu. Tak ada satupun
orang yang menemaniku siang itu.
Di kala angin
menyapaku dan matahari mulai tersenyum kepadaku ada 3 orang unik yang datang
menghampiriku. Nur, seorang perempuan berbadan sedang, berkulit sawo matang,
berhidung mungil dengan sorot matanya yang tajam mulai menatapku bagai seekor
elang yang sedang mencari mangsa. Dan yang dicarinya kali ini adalah alasan
yang membuatku termenung.
Tak ubahnya
seorang wanita cantik berdiri tegap dihadapanku, berkulit putih, tinggi
semampai, berkerudung bulat turut serta memandangku. Dengan lagak yang sangat
berwibawa dia mulai menatapku bagai seorang tersangka dalam suatu pengadilan.
Begitu pula dengan
si ahli kontruksi yang berkulit sawo matang, badan kurus tak berisi mulai
memandangku bagai bangunan kosong yang hendak di proyeksikan dari titik horizon
yang manakah akan menemukan garis putus-putus yang telah menggarisi jiwaku?
Lengkap sudah,
setelah mereka puas memandangku bagai seorang mangsa, tersangka, dan sebuah
bangunan kosong. Lalu, dengan serentak mereka bertanya, kenapa..?
Jantungku berdegup
begitu kencang ketika mereka menanyakan hal itu kepadaku, akan tetapi, aku
tetaplah aku, orang yang selalu terdiam dan merenung larut dalam kesunyian jiwa
ini dan dengan jawaban yang sama pula aku akan menjawab pertanyaan mereka
“Tidak apa-apa kok.”
Beberapa saat
kemudian datanglah sesosok lelaki berbadan kurus kecil, berambut lurus,
berkulit sawo matang, hidung mancung, lengan dilinting (dilipat bagian
bawahnya) datang menghampiri kami. Serta bertanya “ kenapa kalian disini?”
Ima, salah seorang sahabatku segera menjawab pertanyaan itu “
nunggu jemputan mas.”
Nur dan Yuni pun turut menjawab “Nunggu angkot mas.”
Hanya aku sendiri yang tidak menjawabnya, karena bagiku jawaban Nur
dan Yuni sudah cukup mewakili jawabanku, lagi pula aku tak mengenal sedikitpun
laki-laki itu.
Sejenak setelah
jawaban-jawaban itu terucap. Segeralah muncul suara bass Nur “Mas Rizki ajari
aku Fisika dong...!”
“Hmmm, mau diajari tapi mana bukunya?”(dengan nada yang sangat
santai kudengar jawaban itu dari sesosok laki-laki yang asing bagiku). Menyusul
logat Sunda Ima keluar dari bibir manisnya “Eh, mas Riz bagi-bagi ilmu dong..!”
Gimana sih caranya biar pinter kayak mas??
Angin berhembus,
dedaunan pohon bergoyang-goyang seakan-akan mereka menari-nari dan tertawa
mengejek melihat ketidaktahuanku tentang laki-laki yang sedang berdiri di
sampingku. Meski ku tak mengenalnya dan berusaha bersikap cuek, aku tetap
mendengarkan perbincangan mereka.
“Kalian kan anak Remus (Remaja musholla), kenapa kalian tidak
belajar kitab ta’lim?”kata laki-laki itu.”
Degg...degg, kali
ini jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Siapakah dia? Kenapa dia
tahu tentang kitab Ta’lim? Padahal ini bukan sekolah Islam? kenapa dia bisa
tahu? Celaka pertanyaan itu bertubi-tubi menerkam batinku, apakah dia Rizki
yang kucari ketika pembagian zakat itu?
Dengan terpaksa ku
sela pembicaraan mereka, “ Eh mas, ku pernah ngaji Ta’lim, tapi banyak yang
lupa.” Sambil tersenyum dan memasang ear phone di telinganya dia meninggalkan
kami tanpa pamit atau menjawab pertanyaanku. Ketika langkahnya 5 meter dari ku,
dia berkata “ Ya, gila kamu mengingat dan mengamalkan semuanya.
“Hmmm, apa maksudnya? Kenapa dengan dia? Ah biarlah ! ngapain
dipikirkan toh aku tidak mengenalnya.
Sebulan penuh aku
dilanda rasa gundah karena aku semakin tidak mengerti, kenapa temanku Ayu yang
trak pernah memperhatikan penjelasan dari Bu Siti tapi dia bisa menguasai
pelajaran itu. Sungguh tak adil bagiku, aku yang senantiasa memperhatikannya
namun tak mengerti seluk beluk pelajaran itu, Ya Allah..apa yang harus aku
lakukan?
Sudah tak begitu
paham dengan pelajaran itu, ditambah
lagi minggu-minggu ini terpaksa aku harus meninggalkan kelas untuk rapat persiapan
acara Maulid Nabi di SMA ku. Lengkap sudah cobaanku kali ini.
Siang itu, ku tinggalkan
lagi pelajaran Bu.Siti hanya sekedar untuk rapat panitia acara. Ketika ku
susuri lorong sekolah menuju tempat rapat, aku bertemu dengan laki-laki yang
pernah membingungkanku dengan kitab ta’lim. Dia sedang duduk dibawah pohon, dan
dikerumuni banyak teman-temanya, serta kudengar teriakan teman-temannya, “ Mas
riz, ini caranya gimana?” trus yang ini gimana?
Batinku sekarang
dipenuihi berbagai proporsi tentangnya, otakku serasa ingin membuat suatu
kesimpulan, namun nuraniku telah mendahui semuanya seraya berkata “keren,
hidupnya dipenuhi dengan ilmu. Tak berani ku pandanginya lama-lama, sejurus
kemudian ku langsung meninggalkan tempat itu dan mempercepat langkahku ke tempat
rapat.
Setibanya di
tempat rapat, ku dapati Yuni sedang sibuk dengan handphonenya. Tak ku sapa dia
takut jikalau aku mengganggu kesibukannya. Sesaat kemudian dia menatapku dengan
serius, aku tahu dia ingin menanyakan sesuatu padaku, aku segera mendahuluinya.
“kenapa Yun?
“ki, masih ingatkah kau dengan laki-laki yang jenius yang
menghampiri kita di depan gerbang?
“Tentu, kenapa?”tanyaku.
“Dia selalu mengirimi berbagai pertanyaan ke semua nomor yang ada
di contactnya, sekarang dia mengirimi aku soal. Soalnya gini : “Berapa harikah
Allah, menciptakan alam semesta? Kamu tahu ki?” tanya Yuni
“waduh, aku bahkan baru kali ini mendengarnya.”boleh aku meminta
nomornya?”
“Em, tunggu dulu ya, aku tanyakan dulu ke orangnya boleh atau
tidaknya.
“Ok, thanks ya yun”
“sama-sama”.
“Hei!! Bentak kak Udin secara tiba-tiba, kenapa dari tadi kalian
ngobrol sendiri, kalian nggak kasihan sama Ahmad yang sedang menmjelaskan
rencana untuk acara Maulid, tapi nggak kalian perhatikan sama sekali?”
“Mmma af kak.”kataku gugup.
“Ya sudah, tak apalah , tapi lain kali jangan diulangi lagi ya?”
“Sip kak!”
Kak Udin adalah
ketua umum Remus di SMA Harapan Bangsa, dari dulu dia menjadi orang yang paling
bijak diantara senior-seniorku, meski dia asli Sunda, namun logat Sundanya
telah luntur dengan logat jawa. Dua jam rapat berlangsung, namun tak sedikitpun
yang kutangkap dalam rapat tersebut, seperti biasa pikiranku melayang-layang di
bawa terbang oleh sang angin.
Tak terasa hari
telah petang dan rapatpun telah usai, adzan maghrib berkumandang. Baru kali ini
aku merasakan suara adzan turut mengalir dalam darahku. “Ya Rabbi, apakah yang
sedang ku rasakan ini? Aku semakin tak mengerti tentang hidupku, aku tahu bahwa
takkan selamanya aku hidup dalam duniaMu. Ya Allah..tuntulah aku, tuntunlah aku
kedalam jalanMu yang lurus. Tak biasanya aku merasakan perasaan aneh seperti
ini.
Tanpa kusadari air
mataku meleleh. Kucoba tuk pejamkan mata. Namun tetap saja tak sanggup rasanya
menenangkan batin yang sedang terkoyak ini. Ketika ku mulai membuka mataku,
kudapati ku seorangdiri, tanpa ada seorangpun yang menemani. Ku alunkah
langkahku tuk keluar dari gerbang sekolah. Ditengah perjalanku, kutemukan dia
seorang diri disudut sekolahku. Dia ...dia...dia sang lelaki misterius yang
dulu pernah membuatku bingung hingga kini. Dalam kesendiriannya dia termenung.
Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya. “Ah..aku tak mau memandangnya terlalu
lama, aku takut jika ku akan dibuat semakin bingung olehnya.”gumamku
Ku teruskan
langkahku menuju gubuk tercinta. Sesampainya dirumah aku tidak menemukan ibuku.
Biasanya beliau selalu menyambutku ketika aku pulang. Namun, entah kemana
beliau kali ini. Langsung saja ku menuju tempat wudhu, kuberharap agar semua
tetesan air wudhu ini jatuh seraya memohonkan ampun atas semua dosa-dosa yang
telah ku perbuat. Dan bersama rasa syukurku, aku bersujud di hadapan-Nya. Yang
ku harap hanyalah RidhoNya. Meski diri ini berlumuran dosa dan tak pantas jika
ku bersimpuh hanya mengharap Ridhodan ampunan-Nya, aku tetap akan melakukannya.
Dalam kelamnya
kalbuku, ku memohon pada-Nya tuk terangkan hati dan jiwa ini. Seusai sholat
kuambil kertas lusuh yang berwarna coklat itu. Aku pun membacanya dengan suara
yang sangat lirih.
ALLAHUMMAJ’AL FI QOLBI NUURON, WA FII LISAANI NURON, WA FII
BASHORII NUURON, WA FII SAM’I NUURON, WA ‘AN YAMIINI NUURON, WA ‘AN YASAARI
NUURON, WA MIN FAWQI NUURON, WAMIN TAHTI NUURON, WA MIN AMAAMI NUURON, WA MIN
KHOLFII NUURON, WAJ’ALLII FII NAFSI NUURON, WA A’DZIMLII NUURON.
“Ya Allah jadikanlah hatiku bercahaya,lisanku
bercahaya,pengelihatanku bercahaya, pendengaranku bercahaya, dari sisi kananku
bercahaya, dari sebelah kiriku bercahaya, dari sebelah atasku bercahaya,dari
bawahku bercahaya , dari depan ada cahaya, dari belakang bercahaya, dari jiwaku
bercahaya, dari kemuliaan yang bercahaya.
Penuhilah hati ini dengan cahayaMu ya Rabb...
Tiba – tiba
handphoneku berdering, ku raih hp yang terletak di atas dipan itu. Hp merah itu
seakan-akan ingin segera di ambil olehku. Setelah ku memegangnya. Ku tatap
perlahan, ku lihat ada tulisan 1 message recieved. ku tekan tombol tengah itu,
ku baca kata demi kata dan betapa kagetnya ketika ku tahu pesan itu dari
laki-laki misterius itu.
Awalnya ku minta
nomornya pada Yuni hanya untuk bertanya tentang kitab ta’lim itu padanya. Tapi
ku tak menyangka bahwa dia dulu yang memulai mengirim pesan padaku. Dengan
kalimat yang begitu singkat ku baca kalimat itu. “jare kate takon (katanya mau
tanya). Rizky XII IPA 1. Dari kalimatnya yang sangat singkat itu semakin
penasaran tentang orang ini.
Lama-kelaman aku
semakin dekat dengannya meskipun hanya lewat sms, dia sering mengirimi
pertanyaan-pertanyaan kepadaku, mulai dari pelajaran IPA hingga agama. Ya bisa
ditebak hanya pelajaran agamalah yang aku bisa. Pada suatu malam aku tertidur
di dalam kamar seorang diri. Aku terbangun pada malam hari karena mimpi buruk.
Pukul menunjukkan jam 12 malam, keringat dingin membasahi tubuhku, aku semakin
takut karena mimpi itu, entah apa yang ada dibenakku waktu itu. Tanpa berfikir
panjang, langsung ku raih hpku. Aku mengirim pesan pada laki-laki itu. “mas
wedi (Kak takut).”
Dengan jawaban
yang sangat singkat pula dia menjawab pertanyaanku. “La Takhof wa la Tahzan
Innallaha Ma’ana”
Ya Allah seketika itu rasa takutku hilang. Dan sejak itu pula aku
merasa ingin menjadi kekasih halalnya suatu hari nanti. Sulit bagiku memejamkan
mata ini karena bayang-bayangnya sekarang menghantuiku.
Ku hanya bertemu
dengannya 3 kali semasa sma ku, itupun karena aku mengembalikan buku, meminjam,
dan minta diajari Fisika. Entah kenapa ku selalu takut jika bertemu dengannya
atau melihatnya. Hatiku tak bisa tertahan, degupan jantung begitu keras, hingga
ku tak bisa membendung air mata yang tak tahu entah kenapa ku ingin menangis
ketika merasakan hal itu.
Ku merasa aku tak
pantas baginya, karena ilmuku dan ilmunya bagaikan bumi dan langit. Dia manis
sedangkan aku adalah si buruk rupa. Bayangkan saja, betapa takdir memisahkan
kami karena perbedaan kami hampir 360 derajat.
Sering kali ku
melihat dia telah menyembunyikan sesuatu dari semua penduduk sma. Pada suatu
malam, ketika hendak menuju ranjang. Aku meraih hpku. Aku hanya iseng ingin
berdiskusi dengannya tentang biologi. Kukirim pesan “ Mas, tahukah samean
tentang penyakit asfiksia?”
Dia menjawabnya “gak tahu, apakah itu?”
“itu adalah penyakit paru-paru yang disebabkan oleh rokok.”
Biasanya penderitanya di tandai dengan ketika lahir dia nyungsang. Apakah mas
dulu lahirnya nyungsang?”
“aku gak tahu”
“ya, tanyakan ke ibu lho”
“ibukku wis tilar ndunyo”(ibuku sudah meninggal dunia)
“Astaghfirullah, maaf mas, ku nggak maksud ngingetin samean.
“gak papa tenang saja.”
“trus mas sekarang tinggal sama siapa?”
“aku tinggal sama pakdhe dan budhe.”
“ayahnya kemana?”
“ayahku nang Bali. Ibuku tilar dunyo (meninggal) pas aku umur
petang tahun, trus ayahku menikah lagi di Bali”.
Hatiku miris mendengarnya, isak tangis ku tahan karena di sampingku
ada kakakku yang sedang melihat acara televisi.
aku melanjutkan sms itu, “makanya mas jangan sampai merokok,nanti
bisa sakit trus kasihan juga ibunya mas jika tahu mas merokok.
“aku perokok berat. Sejak aku di kelas satu SMP, aku masuk dalam
anggota qohwa wa dukhon.”
“apa itu?”
“Ngopi dan Ngrokok”.
Aku mengerti dengan kondisinya yang hanya tinggal dengan pakdhe dan
budhenya itu, sehingga ketika smp, dia
tidak ada yang memperhatikannya atau mengawasinya.
Sepanjang malam
aku memikirkan untuk menjadi orang yang akan menjaganya. Namun, tak mungkinlah
bagiku itu terjadi karena ku tahu ada anak yang juga sangat mahir dengan
pelajaran yang disukainya. Tapi ku tahu bahwa harapanku hanyalah harapan hampa
yang takkan pernah terwujud. Aku tahu banyak sekali wanita cantik, baik, pintar
di sekitarnya. Sedangkan aku, siapa aku? Aku hanya mengenalnya baik lewat
pesan.
Malam itu, aku
membuka tugas fisika ku untuk besok. Tapi aku tidak mengerti tentang pembahasan
itu. Ku putuskan untuk menanyakan padanya. Dan entahlah apa yang terjadi
dengannya sehingga dia tak membalas pesanku. Kenapa dia? Apa yang terjadi
padanya? Ku kirim pesan berkali-kali kepadanya. “mas kenapa?
Entahlah sejak
mengetahui dia tidak mempunyai seorang ibu aku semakin khawatir dengan
keadaannya. Aku benar-benar ingin menjaganya. Tapi dia bukanlah kekasih
halalku, bukan pula saudara atau sahabatku. Hati gundah, ku coba mengirim pesan
itu lagi. Dan akhirnya dia membalasku “ Aku rodok grepes(saya agak gak enak
badan).”
Ya Allah pikiranku semakin ada di ujung langit rasanya. Siapakah
yang akan merawatnya dikala ia sakit? Aku ingin menangis, tapi aku tahu
tangisanku tak kan bisa mengurangi beban dalam hidupnya, dan tidak pula
menyembuhkan penyakitnya. Yang hanya bisa ku lakukan untuknya hanyalah berdoa.
Pukul 6 pagi, aku
menyapu lantai di kelasku. Sesampainya di bagian teras aku terdiam ketika
melihatnya berjalan bersama temannya di depan kelasku. “al hamdulillah, dia
telah sehat kembali.”Gumamku. tapi aku tak menyapanya karena takut, untunglah
ada taman yang memisahkan jarak teras dengan jalan umum itu. Entahlah ku
semakin tidak mengerti yang kurasa karena ku sangat takut ketika harus berjumpa
dengannya.
Dia memandang ke
arahku, entahlah dia masih mengingatku atau tidak. Yang pasti aku masih dilanda
rasa penasaran terhadapnya. Ada sesuatu yang aneh ketika ku menatapnya. Ku
putuskan untuk mengirim pesan untuknya. Aku memaksanya untuk bercerita tentang
masa lalunya ketika di SMP Akhirnya dia bercerita “Aku ditinggal ibu tilar
dunyo pas umur petang tahun, ayah ku rabi maneh trus nang Bali. Gawe ngewangi
Budhe lan pakdhe mbayar spp aku ngamen. Kelas siji smp aku katut ngrokok lan
ngopi. Kelas loro smp aku katut arek-arek ngombe khamr. Aku ngombe Khamr sampek
mari UNAS SMP. Aku gak kepikiran kate nglanjutno sekolah SMA karena gak duwe
biaya bahkan aku kate katut organisasi Punk. Tapi aku moro iling duso, aku
tobat. Aku disekolahno pihak panti asuhan sekolah ndek kene.”
“ Mas, maukah samean janji padaku?
“apa?
“jangan pernah mengulanginya lagi ya?”
“dungakno ae”
“Insya Allah, engge”
Sejak itulah ku tambahkan doa disetiap akhir do’aku “Ya Allah ,
jagalah dia, percepatlah langkahnya jika dia dalam jalanmu. Tapi hentikanlah
langkahnya, jika dia dalam kemaksiatan.
Dan pada suatu
hari aku tahu bahwa dia tidak mencintaiku, dan mencintai orang lain. karena aku
baginya hanyalah sekedar teman semu. Aku akhirnya harus rela jika “Cintaku
berujung do’a”.
CINTAKU BERSAMA
ALFATIHAH
Dia sahabat atau cintaku
Hingga ku tak bisa bedakannya
Dia selalu disampingku
Menjadi dokter bagi kalbuku
Meski jasad kini tak bisa bertemu
Namun hati tertaut akan rasa itu
Ketika rindu ini kian menendang jiwa
Hanya berbisik dalam hati
Bukakan hatinya untukku
Bersama al-fatihah ini
Ku sampaikan cinta ini padamu
Dengarkanlah
Meski kau tuli
Dengarkan bisikanq lewat hatimu
Ku ketuk hatimu dengan ucapan bismillah
Lalu ku buka pintu hatimu dengan Al-Fatihah
TAK INGIN
KURASA
Sesak rindu beradu dalam rasa
Gundah gulana bercampur dalam jiwa
Isak tangis tangis bersambung doa
Hanya untuknya
Hanya
karenanya
Malam ku sujud
Hina di hadapNya
Tak perduli air mata banjir di atas
sajadah
Demi engkau kekasih tercinta
Meski raga tak bisa bersua
Namun jiwa tetap memaksa
Diri ini tuk berdoa
Memohon keslamatanmu
Wahai kekasih tercinta
Dengarkanlah...
Dengarkanlah....
Aku ini tak lebih dari seonggok sampah
Yang inginkan cinta dari seorang raja
Hati teriris jiwa terluka
Melihat baginda sudah ada yang punya
Tak ingin kurasa
Tak ingin kurasa
Kepedihan ini
Yang berujung doa