Senin, 11 Maret 2013

Dhuha


                                                                                Dhuha
Entah apa yang terjadi, malam ini tak bisa pejamkan mata, ku coba tenggelam dalam pulau kapuk, ku benamkan kepalaku pada bantal, tak juga membawaku terlelap dalam malam yang dingin ini, hanya bayang-bayangnya yang selalu tampak dalam angan, dosakah aku ya Rabb, apakah aku besok akan berpuasa saja, tuk kendalikan mata dan hatiku, bangunkan aku ya Rabb, dikala aku benar-benar terjerembab dalam kelamnya malam. Aku linglung, tak henti-hentinya ku pikirkan tentang yang telah aku baca kemarin malam, “tabarruj” wanita dilarang ber tabarruj (berhias) meskipun dia dalam keadaan ta’aruf. Dia siapa? Tak juga aku berta’aruf dengannya, hanya saja aku tak bisa berkata banyak ketika dihadapnya, bertemu dengannya mematikanku sesaat, bagai patung tiada daya. Itulah yang sering memunculkan tanda tanya dalam pikiranku, kenapa?kenapa?kenapa? dan yang ku tahu hanya Dia-lah yang mengetahui jawabannya.Pikiranku benar-benar berputar seperti benang ruwet, tak biasanya aku memikirkan baju apakah yang akan ku kenakan besok? Lalu pakai celana apa rok? Astaghfirullah benar-benar tak karuan, apakah ini dosa? Atau sebuah kewajaran? Semuanya bagiiku adalah membingungkan.

Sampailah ku di esok yang cerah, langsung saja ku ambil setrika didepan kamar, ku setrika baju ungu, rok jeans, dan kerudung ungu cerah. Beberapa jarum pentul pun siap di samping kerudung ungu itu. Sebenarnya, rasa ini tetap seperti kemarin, tapi tidak begitu ku pedulikan, karena aku tahu, aku hanya ingin menyampaikan surat dinas untuknya, lagipula sudah lama kita tidak bertemu, mungkin rasa itu pun telah sirna. Tapi anehnya, kali ini dia tidak menghubungiku sama sekali, semenjak ku putuskan untuk memberikan surat dinas itu didepan gerbang perumahan tempat tinggalnya, dan kata-kata “ok” yang selalu terlintas dalam pesannya. Setelah usai semuanya, tak seperti biasa ku hanya membawa sebuah surat beramplop coklat, kulekatkan pada map hijauku agar tak nampak luarnya, aku tak lagi membawa secuil makanan, atau roti sisir yang senantiasa hinggap di hari pagiku, karena ku tahu, dia bukan seperti yang dahulu, orang miskin yang kesederhanaannya telah membutakannku.
                Melangkah ku menuju tempat parkiran, ku pinjam onthel temanku, karena perumahan itu tak jauh dari tempat kerjaku. sekitar 3 kilo. Ku kayuh sepeda merah itu dengan sekuat tenagaku, karena aku terlanjur janji bertemu dengannya pukul 8 dan sekarang sudah 07.45, ya Allah aku tahu betapa disiplinnya orang yang akan ku temui ini, inginku mengirim pesan karena agak telat, tak mungkin lagi bagiku, karena pulsaku tinggal 9 rupiah. Ya sudahlah, tak perlu kutakutkan karena dia pasti menungguku. Tapi kata-kata apa yang akan ku ucapkan nanti? Apakah hanya sebatas salam? Aku bingung bukan kepalang, kenapa setiap kata yang ku persiapkan seolah olah hilang ditelan ombak, ketika aku dihadapnya? Astaghfirullah, entahlah..., gumamku dalam hati. Semakin khawatir lagi, karena hari ini aku lupa membaca surat AL-Fath, surat yang selalu menenangkan hatiku di pagi dan meyakinkanku tuk melangkah di siang dan malamnya.
                Tin-tin-tin, suara klakson mobil yang bersaut-sautan membuatku ingin segera memasuki gang menuju perumahan itu, akhirnya aku sampai juga didepan gang itu. 15 menit waktu berlalu, jam 8 tepat aku berada di depan gang itu, sedikit lagi kucapai gerbang perumahan yang kutuju. Rasanya bingung dan salah tingkah dengan penampilanku yang biasa di tengah-tengah kerumunan orang elit didaerah perumahan itu. Ku pandangi setiap sudut gerbang, tapi tak satupun kutemukan sosoknya. Ku pandangi lagi, tak ada juga, apakah dia mengira aku akan datang di depan rumahnya? akhirnya kumasuki perumahan itu, dan mulai mencari-carinya, tapi tak satupun orang yang menunjukkan seperti dia, apakah mata minusku bertambah? Atau aku yang salah kirim sms? Ku pandangi lagi pesan terkirim di handphoneku, tetap saja jam 8. Aku tidak yakin jika dia akan lupa atau mengingkari janjinya, karena baginya insya Allah adalah iya, dan benar-benar janji yang nyata. Apalagi kata ok? Yang tiada keraguan sama sekali. Allahu akbar, apakah aku harus menuju gerbang perumahan yang paling belakang? Ya, jawabku sendiri, kususuri setiap sudut perumahan, tak satupun orang yang ku kenal, dan seperti biasa aku jadi orang yang paling norak diantara orang-orang elit dikawasan perumahan ini. Wallahu a’lam, aku jadi ingat siapa dirinya dulu, orang yang penuh dengan kesederhanaan, dan senyuman khasnya yang sering membuatku meringis geli, kesabarannya yang selalu membuatku tentram, subhanallah, apakah sekarang dia berubah? Aku pun tak tahu, sejak dia mendapatkan beasiswa itu dan memenangkan olimpiade serta memutuskan untuk tinggal di perumahan ini, apakah membuatnya berubah? Entahlah...
                Sekian lama ku berputar-purtar di jalur yang sama, akhirnya ku putuskan untuk berhenti di sebuah taman tak jauh dari rumah yang ia huni, kulihat ada satu kursi di tengah taman, entah kenapa kursi itu membuatku merasa ada kejanggalan, kenapa kursi itu ada disitu? Apakah ini sebuah panggung sandiwara? Apakah aku termasuk pemerannya? Masya Allah, aku tak tahu, kutemukan juga putung rokok diatas kertas tisu, yang membuatku mengingat siapa orang yang sedang ku temui ini, entah kenapa serasa benar-benar ada yang mendesaign semua ini, ada pula yang menghias puntung rokok itu, padahal hanya alam yang menyibakkan daun itu jauh di atas kertas itu. Ku amati lagi, hingga ku rasakan denyut nadi ini berdetak, mata yang tiba-tiba tak kuat membendung air mata, subhanallah, kenapa Engkau mengingatkan aku pada dirinya yang dulu? Berlama-lama ku di sana, akhirnya ku putuskan untuk pulang, karena tak ada kabarpun darinya.
                Tatapan hampa yang begitu tampak dimataku, mungkin tak banyak dihiraukan oleh orang-orang. Dan aku yang tak lagi mengharap bertemu dengannya, kepayahanku kali ini tak bisa terbayarkan dengan apapun ketika ada puntung rokok di halaman rumahnya. ku pandangi surat dinas itu, ingin ku lemparkan saja di tengah jalanan ini. Tapi apalh gunanya? Aku ingin marah, tapi tak sampai hati. Aku hanya ingin tahu alasannya kenapa dia seperti ini? Masya Allah. Astaghfirullah, jika saja ada setan dibelakangku, maka lemparkanlah jauh-jauh dari hadapanku. Aku tak kuasa, hingga ku putuskan untuk solat dhuha, dengan keyakinan penuh aku akan mendapatkan ketenangan dalam sholat itu. Seusai sholat, hatiku agak tenang, namun entah kenapa ku masih ingin tahu, kenapa kali ini dia melanggar janji. Setelah ku mengisi pulsa, ku kirim pesan untuknya, tapi tetap saja tak dibalas olehnya. Hingga ku putuskan untuk menelponnya. Hingga aku tau jawaban singkat “aku sik tas tangi (aku masih bangun tidur), masya Allah tak bisa ku berkata apa-apa, aku tak bisa berkata suara melasnya yang membuatku terbungkam, tak bisa berfikir lagi hanya membisu, lagi-lagi darah ku terhenti tak bisa lakukan apa-apa, hingga ku matikan hp ku tanpa sepatah kata dariku. Semakin deras pula air mata ini, ya Allah kenapa aku tidak bisa marah?apakah karena dhuha-ku, Kau benar-benar membuang setan itu? Tapi kenapa aku menangis?



By : zackiyah

Rabu, 06 Maret 2013

cinta dan doa

Cintaku Berujung doa

Saat itu, langit cerah menjadi saksi kesunyian jiwaku, Sang mentari tega memandangku dengan teriknya, yang membuat hati yang hampa ini semakin terbakar. Ketika angin menyapaku, aku hanya bisa terdiam bagai patung. Ketika dahan pohon melambaikan tangannya untukku aku semakin membisu. Tak ada satupun orang yang menemaniku siang itu.
            Di kala angin menyapaku dan matahari mulai tersenyum kepadaku ada 3 orang unik yang datang menghampiriku. Nur, seorang perempuan berbadan sedang, berkulit sawo matang, berhidung mungil dengan sorot matanya yang tajam mulai menatapku bagai seekor elang yang sedang mencari mangsa. Dan yang dicarinya kali ini adalah alasan yang membuatku termenung.
            Tak ubahnya seorang wanita cantik berdiri tegap dihadapanku, berkulit putih, tinggi semampai, berkerudung bulat turut serta memandangku. Dengan lagak yang sangat berwibawa dia mulai menatapku bagai seorang tersangka dalam suatu pengadilan.
            Begitu pula dengan si ahli kontruksi yang berkulit sawo matang, badan kurus tak berisi mulai memandangku bagai bangunan kosong yang hendak di proyeksikan dari titik horizon yang manakah akan menemukan garis putus-putus yang telah menggarisi jiwaku?
            Lengkap sudah, setelah mereka puas memandangku bagai seorang mangsa, tersangka, dan sebuah bangunan kosong. Lalu, dengan serentak mereka bertanya, kenapa..?
            Jantungku berdegup begitu kencang ketika mereka menanyakan hal itu kepadaku, akan tetapi, aku tetaplah aku, orang yang selalu terdiam dan merenung larut dalam kesunyian jiwa ini dan dengan jawaban yang sama pula aku akan menjawab pertanyaan mereka “Tidak apa-apa kok.”
            Beberapa saat kemudian datanglah sesosok lelaki berbadan kurus kecil, berambut lurus, berkulit sawo matang, hidung mancung, lengan dilinting (dilipat bagian bawahnya) datang menghampiri kami. Serta bertanya “ kenapa kalian disini?”
Ima, salah seorang sahabatku segera menjawab pertanyaan itu “ nunggu jemputan mas.”
Nur dan Yuni pun turut menjawab “Nunggu angkot mas.”
Hanya aku sendiri yang tidak menjawabnya, karena bagiku jawaban Nur dan Yuni sudah cukup mewakili jawabanku, lagi pula aku tak mengenal sedikitpun laki-laki itu.
            Sejenak setelah jawaban-jawaban itu terucap. Segeralah muncul suara bass Nur “Mas Rizki ajari aku Fisika dong...!”
“Hmmm, mau diajari tapi mana bukunya?”(dengan nada yang sangat santai kudengar jawaban itu dari sesosok laki-laki yang asing bagiku). Menyusul logat Sunda Ima keluar dari bibir manisnya “Eh, mas Riz bagi-bagi ilmu dong..!” Gimana sih caranya biar pinter kayak mas??
            Angin berhembus, dedaunan pohon bergoyang-goyang seakan-akan mereka menari-nari dan tertawa mengejek melihat ketidaktahuanku tentang laki-laki yang sedang berdiri di sampingku. Meski ku tak mengenalnya dan berusaha bersikap cuek, aku tetap mendengarkan perbincangan mereka.
“Kalian kan anak Remus (Remaja musholla), kenapa kalian tidak belajar kitab ta’lim?”kata laki-laki itu.”
            Degg...degg, kali ini jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Siapakah dia? Kenapa dia tahu tentang kitab Ta’lim? Padahal ini bukan sekolah Islam? kenapa dia bisa tahu? Celaka pertanyaan itu bertubi-tubi menerkam batinku, apakah dia Rizki yang kucari ketika pembagian zakat itu?
            Dengan terpaksa ku sela pembicaraan mereka, “ Eh mas, ku pernah ngaji Ta’lim, tapi banyak yang lupa.” Sambil tersenyum dan memasang ear phone di telinganya dia meninggalkan kami tanpa pamit atau menjawab pertanyaanku. Ketika langkahnya 5 meter dari ku, dia berkata “ Ya, gila kamu mengingat dan mengamalkan semuanya.
“Hmmm, apa maksudnya? Kenapa dengan dia? Ah biarlah ! ngapain dipikirkan toh aku tidak mengenalnya.
           
            Sebulan penuh aku dilanda rasa gundah karena aku semakin tidak mengerti, kenapa temanku Ayu yang trak pernah memperhatikan penjelasan dari Bu Siti tapi dia bisa menguasai pelajaran itu. Sungguh tak adil bagiku, aku yang senantiasa memperhatikannya namun tak mengerti seluk beluk pelajaran itu, Ya Allah..apa yang harus aku lakukan?
            Sudah tak begitu paham  dengan pelajaran itu, ditambah lagi minggu-minggu ini terpaksa aku harus meninggalkan kelas untuk rapat persiapan acara Maulid Nabi di SMA ku. Lengkap sudah cobaanku kali ini.
            Siang itu, ku tinggalkan lagi pelajaran Bu.Siti hanya sekedar untuk rapat panitia acara. Ketika ku susuri lorong sekolah menuju tempat rapat, aku bertemu dengan laki-laki yang pernah membingungkanku dengan kitab ta’lim. Dia sedang duduk dibawah pohon, dan dikerumuni banyak teman-temanya, serta kudengar teriakan teman-temannya, “ Mas riz, ini caranya gimana?” trus yang ini gimana?
            Batinku sekarang dipenuihi berbagai proporsi tentangnya, otakku serasa ingin membuat suatu kesimpulan, namun nuraniku telah mendahui semuanya seraya berkata “keren, hidupnya dipenuhi dengan ilmu. Tak berani ku pandanginya lama-lama, sejurus kemudian ku langsung meninggalkan tempat itu dan mempercepat langkahku ke tempat rapat.
            Setibanya di tempat rapat, ku dapati Yuni sedang sibuk dengan handphonenya. Tak ku sapa dia takut jikalau aku mengganggu kesibukannya. Sesaat kemudian dia menatapku dengan serius, aku tahu dia ingin menanyakan sesuatu padaku, aku segera mendahuluinya. “kenapa Yun?
“ki, masih ingatkah kau dengan laki-laki yang jenius yang menghampiri kita di depan gerbang?
“Tentu, kenapa?”tanyaku.
“Dia selalu mengirimi berbagai pertanyaan ke semua nomor yang ada di contactnya, sekarang dia mengirimi aku soal. Soalnya gini : “Berapa harikah Allah, menciptakan alam semesta? Kamu tahu ki?” tanya Yuni
“waduh, aku bahkan baru kali ini mendengarnya.”boleh aku meminta nomornya?”
“Em, tunggu dulu ya, aku tanyakan dulu ke orangnya boleh atau tidaknya.
“Ok, thanks ya yun”
“sama-sama”.
“Hei!! Bentak kak Udin secara tiba-tiba, kenapa dari tadi kalian ngobrol sendiri, kalian nggak kasihan sama Ahmad yang sedang menmjelaskan rencana untuk acara Maulid, tapi nggak kalian perhatikan sama sekali?”
“Mmma af kak.”kataku gugup.
“Ya sudah, tak apalah , tapi lain kali jangan diulangi lagi ya?”
“Sip kak!”
            Kak Udin adalah ketua umum Remus di SMA Harapan Bangsa, dari dulu dia menjadi orang yang paling bijak diantara senior-seniorku, meski dia asli Sunda, namun logat Sundanya telah luntur dengan logat jawa. Dua jam rapat berlangsung, namun tak sedikitpun yang kutangkap dalam rapat tersebut, seperti biasa pikiranku melayang-layang di bawa terbang oleh sang angin.
            Tak terasa hari telah petang dan rapatpun telah usai, adzan maghrib berkumandang. Baru kali ini aku merasakan suara adzan turut mengalir dalam darahku. “Ya Rabbi, apakah yang sedang ku rasakan ini? Aku semakin tak mengerti tentang hidupku, aku tahu bahwa takkan selamanya aku hidup dalam duniaMu. Ya Allah..tuntulah aku, tuntunlah aku kedalam jalanMu yang lurus. Tak biasanya aku merasakan perasaan aneh seperti ini.
            Tanpa kusadari air mataku meleleh. Kucoba tuk pejamkan mata. Namun tetap saja tak sanggup rasanya menenangkan batin yang sedang terkoyak ini. Ketika ku mulai membuka mataku, kudapati ku seorangdiri, tanpa ada seorangpun yang menemani. Ku alunkah langkahku tuk keluar dari gerbang sekolah. Ditengah perjalanku, kutemukan dia seorang diri disudut sekolahku. Dia ...dia...dia sang lelaki misterius yang dulu pernah membuatku bingung hingga kini. Dalam kesendiriannya dia termenung. Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya. “Ah..aku tak mau memandangnya terlalu lama, aku takut jika ku akan dibuat semakin bingung olehnya.”gumamku
            Ku teruskan langkahku menuju gubuk tercinta. Sesampainya dirumah aku tidak menemukan ibuku. Biasanya beliau selalu menyambutku ketika aku pulang. Namun, entah kemana beliau kali ini. Langsung saja ku menuju tempat wudhu, kuberharap agar semua tetesan air wudhu ini jatuh seraya memohonkan ampun atas semua dosa-dosa yang telah ku perbuat. Dan bersama rasa syukurku, aku bersujud di hadapan-Nya. Yang ku harap hanyalah RidhoNya. Meski diri ini berlumuran dosa dan tak pantas jika ku bersimpuh hanya mengharap Ridhodan ampunan-Nya, aku tetap akan melakukannya.
            Dalam kelamnya kalbuku, ku memohon pada-Nya tuk terangkan hati dan jiwa ini. Seusai sholat kuambil kertas lusuh yang berwarna coklat itu. Aku pun membacanya dengan suara yang sangat lirih.
ALLAHUMMAJ’AL FI QOLBI NUURON, WA FII LISAANI NURON, WA FII BASHORII NUURON, WA FII SAM’I NUURON, WA ‘AN YAMIINI NUURON, WA ‘AN YASAARI NUURON, WA MIN FAWQI NUURON, WAMIN TAHTI NUURON, WA MIN AMAAMI NUURON, WA MIN KHOLFII NUURON, WAJ’ALLII FII NAFSI NUURON, WA A’DZIMLII NUURON.
“Ya Allah jadikanlah hatiku bercahaya,lisanku bercahaya,pengelihatanku bercahaya, pendengaranku bercahaya, dari sisi kananku bercahaya, dari sebelah kiriku bercahaya, dari sebelah atasku bercahaya,dari bawahku bercahaya , dari depan ada cahaya, dari belakang bercahaya, dari jiwaku bercahaya, dari kemuliaan yang bercahaya.
Penuhilah hati ini dengan cahayaMu ya Rabb...
            Tiba – tiba handphoneku berdering, ku raih hp yang terletak di atas dipan itu. Hp merah itu seakan-akan ingin segera di ambil olehku. Setelah ku memegangnya. Ku tatap perlahan, ku lihat ada tulisan 1 message recieved. ku tekan tombol tengah itu, ku baca kata demi kata dan betapa kagetnya ketika ku tahu pesan itu dari laki-laki misterius itu.
            Awalnya ku minta nomornya pada Yuni hanya untuk bertanya tentang kitab ta’lim itu padanya. Tapi ku tak menyangka bahwa dia dulu yang memulai mengirim pesan padaku. Dengan kalimat yang begitu singkat ku baca kalimat itu. “jare kate takon (katanya mau tanya). Rizky XII IPA 1. Dari kalimatnya yang sangat singkat itu semakin penasaran tentang orang ini.
            Lama-kelaman aku semakin dekat dengannya meskipun hanya lewat sms, dia sering mengirimi pertanyaan-pertanyaan kepadaku, mulai dari pelajaran IPA hingga agama. Ya bisa ditebak hanya pelajaran agamalah yang aku bisa. Pada suatu malam aku tertidur di dalam kamar seorang diri. Aku terbangun pada malam hari karena mimpi buruk. Pukul menunjukkan jam 12 malam, keringat dingin membasahi tubuhku, aku semakin takut karena mimpi itu, entah apa yang ada dibenakku waktu itu. Tanpa berfikir panjang, langsung ku raih hpku. Aku mengirim pesan pada laki-laki itu. “mas wedi (Kak takut).”
            Dengan jawaban yang sangat singkat pula dia menjawab pertanyaanku. “La Takhof wa la Tahzan Innallaha Ma’ana” [1]
Ya Allah seketika itu rasa takutku hilang. Dan sejak itu pula aku merasa ingin menjadi kekasih halalnya suatu hari nanti. Sulit bagiku memejamkan mata ini karena bayang-bayangnya sekarang menghantuiku.
            Ku hanya bertemu dengannya 3 kali semasa sma ku, itupun karena aku mengembalikan buku, meminjam, dan minta diajari Fisika. Entah kenapa ku selalu takut jika bertemu dengannya atau melihatnya. Hatiku tak bisa tertahan, degupan jantung begitu keras, hingga ku tak bisa membendung air mata yang tak tahu entah kenapa ku ingin menangis ketika merasakan hal itu.
            Ku merasa aku tak pantas baginya, karena ilmuku dan ilmunya bagaikan bumi dan langit. Dia manis sedangkan aku adalah si buruk rupa. Bayangkan saja, betapa takdir memisahkan kami karena perbedaan kami hampir 360 derajat.

            Sering kali ku melihat dia telah menyembunyikan sesuatu dari semua penduduk sma. Pada suatu malam, ketika hendak menuju ranjang. Aku meraih hpku. Aku hanya iseng ingin berdiskusi dengannya tentang biologi. Kukirim pesan “ Mas, tahukah samean tentang penyakit asfiksia?”
Dia menjawabnya “gak tahu, apakah itu?”
“itu adalah penyakit paru-paru yang disebabkan oleh rokok.” Biasanya penderitanya di tandai dengan ketika lahir dia nyungsang. Apakah mas dulu lahirnya nyungsang?”
“aku gak tahu”
“ya, tanyakan ke ibu lho”
“ibukku wis tilar ndunyo”(ibuku sudah meninggal dunia)
“Astaghfirullah, maaf mas, ku nggak maksud ngingetin samean.
“gak papa tenang saja.”
“trus mas sekarang tinggal sama siapa?”
“aku tinggal sama pakdhe dan budhe.”
“ayahnya kemana?”
“ayahku nang Bali. Ibuku tilar dunyo (meninggal) pas aku umur petang tahun, trus ayahku menikah lagi di Bali”.
Hatiku miris mendengarnya, isak tangis ku tahan karena di sampingku ada kakakku yang sedang melihat acara televisi.
aku melanjutkan sms itu, “makanya mas jangan sampai merokok,nanti bisa sakit trus kasihan juga ibunya mas jika tahu mas merokok.
“aku perokok berat. Sejak aku di kelas satu SMP, aku masuk dalam anggota qohwa wa dukhon.”
“apa itu?”
“Ngopi dan Ngrokok”.
Aku mengerti dengan kondisinya yang hanya tinggal dengan pakdhe dan budhenya itu, sehingga ketika  smp, dia tidak ada yang memperhatikannya atau mengawasinya.
            Sepanjang malam aku memikirkan untuk menjadi orang yang akan menjaganya. Namun, tak mungkinlah bagiku itu terjadi karena ku tahu ada anak yang juga sangat mahir dengan pelajaran yang disukainya. Tapi ku tahu bahwa harapanku hanyalah harapan hampa yang takkan pernah terwujud. Aku tahu banyak sekali wanita cantik, baik, pintar di sekitarnya. Sedangkan aku, siapa aku? Aku hanya mengenalnya baik lewat pesan.
            Malam itu, aku membuka tugas fisika ku untuk besok. Tapi aku tidak mengerti tentang pembahasan itu. Ku putuskan untuk menanyakan padanya. Dan entahlah apa yang terjadi dengannya sehingga dia tak membalas pesanku. Kenapa dia? Apa yang terjadi padanya? Ku kirim pesan berkali-kali kepadanya. “mas kenapa?
            Entahlah sejak mengetahui dia tidak mempunyai seorang ibu aku semakin khawatir dengan keadaannya. Aku benar-benar ingin menjaganya. Tapi dia bukanlah kekasih halalku, bukan pula saudara atau sahabatku. Hati gundah, ku coba mengirim pesan itu lagi. Dan akhirnya dia membalasku “ Aku rodok grepes(saya agak gak enak badan).”
Ya Allah pikiranku semakin ada di ujung langit rasanya. Siapakah yang akan merawatnya dikala ia sakit? Aku ingin menangis, tapi aku tahu tangisanku tak kan bisa mengurangi beban dalam hidupnya, dan tidak pula menyembuhkan penyakitnya. Yang hanya bisa ku lakukan untuknya hanyalah berdoa.
            Pukul 6 pagi, aku menyapu lantai di kelasku. Sesampainya di bagian teras aku terdiam ketika melihatnya berjalan bersama temannya di depan kelasku. “al hamdulillah, dia telah sehat kembali.”Gumamku. tapi aku tak menyapanya karena takut, untunglah ada taman yang memisahkan jarak teras dengan jalan umum itu. Entahlah ku semakin tidak mengerti yang kurasa karena ku sangat takut ketika harus berjumpa dengannya.
            Dia memandang ke arahku, entahlah dia masih mengingatku atau tidak. Yang pasti aku masih dilanda rasa penasaran terhadapnya. Ada sesuatu yang aneh ketika ku menatapnya. Ku putuskan untuk mengirim pesan untuknya. Aku memaksanya untuk bercerita tentang masa lalunya ketika di SMP Akhirnya dia bercerita “Aku ditinggal ibu tilar dunyo pas umur petang tahun, ayah ku rabi maneh trus nang Bali. Gawe ngewangi Budhe lan pakdhe mbayar spp aku ngamen. Kelas siji smp aku katut ngrokok lan ngopi. Kelas loro smp aku katut arek-arek ngombe khamr. Aku ngombe Khamr sampek mari UNAS SMP. Aku gak kepikiran kate nglanjutno sekolah SMA karena gak duwe biaya bahkan aku kate katut organisasi Punk. Tapi aku moro iling duso, aku tobat. Aku disekolahno pihak panti asuhan sekolah ndek kene.”
“ Mas, maukah samean janji padaku?
“apa?
“jangan pernah mengulanginya lagi ya?”
“dungakno ae”
“Insya Allah, engge”

Sejak itulah ku tambahkan doa disetiap akhir do’aku “Ya Allah , jagalah dia, percepatlah langkahnya jika dia dalam jalanmu. Tapi hentikanlah langkahnya, jika dia dalam kemaksiatan.
            Dan pada suatu hari aku tahu bahwa dia tidak mencintaiku, dan mencintai orang lain. karena aku baginya hanyalah sekedar teman semu. Aku akhirnya harus rela jika “Cintaku berujung do’a”.








CINTAKU BERSAMA ALFATIHAH


Dia sahabat atau cintaku
Hingga ku tak bisa bedakannya
Dia selalu disampingku
Menjadi dokter bagi kalbuku
Meski jasad kini tak bisa bertemu
Namun hati tertaut akan rasa itu
Ketika rindu ini kian menendang jiwa
Hanya berbisik dalam hati
Bukakan hatinya untukku
Bersama al-fatihah ini
Ku sampaikan cinta ini padamu
Dengarkanlah
Meski kau tuli
Dengarkan bisikanq lewat hatimu
Ku ketuk hatimu dengan ucapan bismillah
Lalu ku buka pintu hatimu dengan Al-Fatihah


TAK INGIN KURASA
Sesak rindu beradu dalam rasa
Gundah gulana bercampur dalam jiwa
Isak tangis tangis bersambung doa
Hanya untuknya
Hanya karenanya
Malam ku sujud
Hina di hadapNya
Tak perduli air mata banjir di atas sajadah
Demi engkau kekasih tercinta
Meski raga tak bisa bersua
Namun jiwa tetap memaksa
Diri ini tuk berdoa
Memohon keslamatanmu
Wahai kekasih tercinta
Dengarkanlah...
Dengarkanlah....
Aku ini tak lebih dari seonggok sampah
Yang inginkan cinta dari seorang raja
Hati teriris jiwa terluka
Melihat baginda sudah ada yang punya
Tak ingin kurasa
Tak ingin kurasa
Kepedihan ini
Yang berujung doa






[1] Jangan takut dan jangan bersedih sesungguhnya Allah bersama kita

Selasa, 26 Februari 2013

RahasiaNya dibalik cinta


Rahasia Allah dibalik cintaku
Tiada ungkapan yang layak ku ucapkan padanya selain kata Alhamdulillah
Engkau pertemukan aku dengan sosoknya yang sederhana
Yang telah membuka mataku tentang sementaranya dunia
Membuka telingaku agar aku selalu mendengar firman-Nya
Membangunkan aku tatkala ku terbuai dalam kenikmatan dunia
Terima kasih yang telah membuka mata  hatiku untuk mencintai al-qur’an lagi
Terima kasih yang selalu ada disela-sela sengguk tangisku
Terima kasih yang telah menjadi muara nasihat untukku
Inginku menyebutmu sebagai guruku
tapi aku tahu betapa kezuhudanmu slalu menolak panggilan-panggilan agung dariku
kau tahu
tanpa kau sadari kau hapuskan kebutaan ini terhadap ilmu
tak kau ketahui
bahwa kini cintaku pada-Nya telah tumbuh diantara semak cinta-cinta lain
sungguh...Allah telah merahasiakan semuanya padamu
Dia menguji kesabaranku tatkala cinta bersemi untukmu
Tapi
Sekali lagi hanya terima kasih yang bisa ku ungkap,
Karna jika kau menjadi kekasih halalku pun
Apakah kau mampu, membawa cintaku pada-Nya?