Japit Hijau
Tiga jam berlalu, berdiri ku
menunggu sebuah penantian, penantian selama 5 tahun, dan 6 tahun jika ku telah
lulus dari sekolah ini, SMAN 1 Pandaan di depan gerbang ini aku harus berdiri
dan menunggu ada kernet yang bilang, was..trawas, was trawas. Ya, tentunya
rumahku di daerah sana. Dengan seglintir teman seperjuangan kami berdiri
layaknya pager ayu di depan gerbang abu-abu itu.
seiring
dengan penantian yang panjang, kami menghabiskan waktu dengan ngrumpi, diskusi,
menikmati es kiko yang sedang ngetren kami konsumsi. “zackiyah...ada mobil
trawasan, tu ..tuh! sentak temanku kepadaku. Langsung saja ku melambaikan
tangan untuk menghentikan laju mobil biru tersebut. Waktu telah menunjukkan
pukul 14.00, aku bingung karena pukul 14.30 seharusnya aku sudah siap menuju
tempat ngajiku. Berdesak-dessakan dalam mobil, berbagai macam orang ada dalam
mobil tersebut, dari karyawan, guru, siswa, hingga pedagang dari pasar,
bercampur aduk dalam sesak mobil.
14.15
aku tengah melewati desa lumbangrejo, dan sebentar lagi aku akan sampai di
desaku. Dari tadi aku hanya terdiam, entah kenapa bagiku siang ini begitu
penat, hingga temanku trisna yang dari tadi disampingku terdiamkan olehku.
Berkali-kali dalam kediamanku, aku merasa kalut, sampai kapan aku akan terus
begini? Sampai kapan aku tidak bisa menguasai pelajaranku sendiri. Matematika,
fisika, kimia, biologi. Mereka berselang seling melintas di otakku menambah
kepenatan siangku ini.
“Joo...gajarjo”
sentak pak.kernet yang membuyarkan lamunanku. “ngge, pak wonten (iya pak ada),
ku rogoh saku ku perlahan-lahan, tuk ambil recehan 2000 rupiah sebagai
ogkosnya. “mudun endi nduuk”lagi-lagi p.kernet bertanya “ langgar pak”. Tidak
lama kemudian aku di turunkan di depan langgar (musholla). Huft... seiring
dengan turunya aku dari mobil yang sesak itu, seiring pula dengan hilangnya
penat yang kian membebaniku. Menghirup udara segar di sini memang lebih nikmat
di banding di Pandaan tempat ku sekolah, karena sekarang banyak pabrik dan lalu
lalang orang-orang kota. Tak kusangka tiap harinya aku harus menempuh jarak 13
km menuju sekolah.
Lagi-lagi
terbuyarkan lamunanku oleh suara adzan yang berkumandang di langgar tempat aku
berhenti. Menyadari akan hal itu, ku lirik arlojiku, dan tepat dugaanku,
sekarang sudah jam 3. Segera ku memegang tas ku erat-erat, sembari mengayunkan
kaki melangkah ke gubukku tercinta.
Lebih
kurang lima menit aku sampai dirumahku dengan berlari, sesampainya dirumah,
kubuka pintu sembari berucap, “assalamu’alaikum, emak(ibu) dan bapak dimana?
Pertanyaan itu selalu meluncur ketika yang kutemui di ruangan hanya embok
(nenek). “Emakmu di belakang nduuk” kata embok. Segera ku meluncur menuju
dapur, ternyata benar, emak dan bapakku ada disana. Sebungkus roti kacang hijau
yang pada waktu itu seharga 500 rupiah dan segelas kopi, ditujukan padaku, ini
nduuk, segera dimakan dan diminum, nanti cepat langsung mandi.”
“engge mak, maturnuwun.” Aku
langsung menelan roti itu hanya dengan beberapa kunyahan, dan menyruput kopi
pahit itu. Mungkin orang-orang bertanya-tanya kenapa emakku lebih suka
memberiku kopi dari pada segelas teh atau yang lain, karena beliau tahu, betapa
padatnya tugasku dan aku tipe orang yang gampang sekali untuk ngantuk, sehingga
pas, kopi sebagai pilihan utama emakku. Setelah sruputan terakhir, segera ku
ambil baju batik coklat, celana coklat, dan kerudung putih dari almariku.
Tanpa
basa-basi ku menuju pintu kamar mandi, dan sesampainya disana kuguyur seluruh
tubuhku, dan ku akhiri dengan wudhu’ “sembari mengusap wajah, aku berdoa
“Allahumma bayyid wajhi yauma tabyaddu wujuhuwwataswaduu wujuuh”
Wudhu’lah yang senantiasa
mengembalikan selurh kekuatanku, yang telah sirna diterpa oleh
kegiatan-kegiatan hariku. Tanpa pikir panjang ku keluar dari kamar mandi,
dengan pakaian lengkap seragam batik coklat sekaligus celana komprang coklat
yang semuanya itu adalah pemberian kepala TPQ ku saat imtihan adik kelasku. Ku
menuju kamar pribadiku, mengambil tas oranye bertuliskan pijik silver, entah
apa artinya tak pernah terpikirkan olehku, yang terpenting adalah isinya yang sangat
berharga, yakni pedoman di setiap langkah kehidupanku. Itu yang selalu menjadi
harapan emak dan bapak ketika membelikanku yang baru, setelah sekian lama ku
meminjam milik kakakku. Tahukah engkau apakah itu? Ya, tentu saja dia adalah
al-qur’an. Hijau segar, seperti dominan warna surga yang sering diceritakan
dalam kitab-kitab.
Berlari
ku menuju ruang tamu, mencium tangan emak dan bapakku, menutup pintu dan
mengucap salam kepada keduanya. Melewati beberapa orang yang sedang melakukan
aktivitasnya dirumah, sembari berlari dan selalu mengucap nuwun sewu monggo,
itulah tradisi yang selalu di ajarkan orang tuaku agar aku tidak menjadi orang
yang sombong. Sampailah ku disebuah tikungan kecil, dan 20 langkah lagi samapi
ku pada sebuah jalan besar dan tikungan menuju sawah. Sepertinya tidak mungkin
bagiku untuk melewati jalan besar, karena waktu sudah menunjukkan pukul 15.30,
pertanda aku terlambat ke TPQ. Ku putuskan untuk melewati pematang sawah, jalan
pintas yang sering tidak dilalui banyak orang yang memungkinkan ku leluasa
untuk berlari kencang.
Dugaanku
100% meleset, aku lupa dengan musim panen, banyak petani yang sedang menjemur
padi di sawah-sawah mereka. Tapi, itu tak kan bisa mengurungkan niatku untuk
berlari sekencang-kencangnya. Ketika ku berlari, banyak orang yang menyapaku,
atau mungkin menyindirku, entah tepatnya lebih cocok untuk dibilang apa. Ketika
ku lewat di depan mereka, mereka meneriakiku, “kiki, kamu telat lagi ya....!!!”
engge, ngapunten nuwun sewu, monggo....., jawabku, “iyo ndukk, sing ati-ati!
Sahut salah seorang petani, “engge...monggo, di desa memang orang-orang lebih
suka memanggilku kiki, karena bagi mereka memanggil namaku, zacki atau zackiyah
lebih sulit.
Tak
lama setelah ku berlari kencang, akhirnya ku sampai di depan gawang sebuah
lapangan, yang dibelakangnya terletak sebuah TPQ bertuliskan Raudlatul Ulum
sumberejo. Aku juga tak tahu apa arti dari nama itu, yang penting aku disana
bertemu dengan bermacam-macam anak kecil, yang siap membuatku tertawa, marah,
dan membuat hidupku terasa berwarna. Lebih berwarna dari pada pelangi yang
warnanya Cuma 3, merah, kuning, hijau. Sudah hampir lima tahun, kehidupan ini
ku lakoni.
Pintu
hijau, yang engselnya sudah rusak, mulai ku buka perlahan, takut kalau-kalau
aku ketahuan kepala TPQ ku jika aku terlambat datang. “astaghfirullah” sontak
aku kaget karena di depanku pas, beliau sedang memperhatikanku, ketika ku
sedang mengintip dari lubang kunci dan membuka pintu perlahan-lahan. Aku hanya
bisa tersenyum tanpa dosa. Sembari nafas yang tersengal-sengal ku ucapkan kata
maaf, “ngapunten ustadz, kulo telat..., beliau hanya tersenyum, karena tahu
kelakuanku yang selalu telat karena nunggu angkot untuk pulang sekolah. “ya
sudah, anak-anakmu sudah menunggu dari tadi, banyak yang berkeliaran, cepat kesana
ki.., “njih ustadz. Langsung saja ku nyelonong menuju kelasku. Aku kaget,
karena tak biasanya, anak-anak seramai itu, hingga aku ingin marah, tapi
percuma hanya akan menambah keramaian kelas. Sembari menghela nafas panjang, ku
mulai tuk angkat bicara, “adik-adik,harap tenang ya..., nanti,sebelum pulang.
tak ceritain tentang kisah nabi sulaiman, ok? “tiiidaaak mauuuu... serentak
anak-anak berkata. Aku benar-benar kaget, biasanya mereka begitu setuju ketika
tawaran berupa cerita nabi-nabi sebagai balasan atas ketidak gaduhan mereka.
Tak
lama kemudian, salah satu dari mereka m
ulai angkat bicara, “mbak kiki, kami akan diam dan tenang jika, mbak
kiki, janji sesuatu kepada kami. “janji? Janji apa? Sahutku, “pokoknya harus
janji dulu,...” rengek mereka. “ok, ok embak akan berjanji asalkan janji itu
tidak membahayakan embak. “di jamin mbak, g bakalan merugikan kok, J,”, ...
“ya sudah kalau begitu” kali ini
aku pasrah di tangan mereka. L,
“mbak-mbak, tanggal lahir embak
kapan? Tanya kubil salah seorang dari anak-anak kecil tadi.
Degg..degg..degg, jantungku
berdegup semakin kencang, karena sebelumnya tak pernah ada yang menanyakan
tanggal lahirku selain pihak sekolahdengan tujuan memenuhi kelengkapan
administratif. Lalu, kenapa anak-anak sd yang masih ingusan ini menanyakannya
padaku, dan anehnya pula kebetulan 3 hari lagi adalah tanggal ketika aku
dilahirkan. “emmm, kenapa kalian menanyakan hal itu?”
“sudah la mbak.., tadi kan embak
sudah janji, “ celetuk surya..
“ya, sudah kalau begitu, tapi
embak jangan diapa-apakan ya? Nanti kalau embak diapa-apain sama kalian. Embak
tidaka akan menemani kalian lagi belajar al-qur’an dikelas ini.
“kami janji mbak...”serentak
mereka menjawabnya.
“embak lahir pada tanggal, 07
“bulannya mbak..? sahut gunawan
yang tak sabar lagi”
“ september,....
“wah....kebetulan sekali
teman-teman tinggal 3 hari lagi!!!”sahut putri dengan girangnya,
“siiip dah, kata mereka serempak.
“sudah-sudah, setelah ini kalian
sudah berjanji akan bersikap tenangkan?
“sip, mbak”
“ayo dibuka al-qur’annya, surat
al-furqon, “ta’awwud bersama”
“A’uudzubillaa
himinasysaythoonirrojiiim”....
Mereka sangat akrab denganku,
karena aku yang masih duduk di bangku sma, dan mereka yang kebanyakan masih di
bangku sd, dan 2 lainnya berada disekolah menengah pertama.
Putri : perempuan cilik, yang
penampilannya begitu perfect, namun terlalu lembut jika melantutkan ayat suci
al-qur’an.
Firli millatina atau lebih
akrabnya disebut mella: bocah lembut yang manis, terkadang karena saking
lembutnya, aku tidak mendengar suara bacaannya, eits jangan salah tapi kalau
disimak bener-bener dia paling bagus tartilnya.
Eni, nama singkat, sesingkat
anaknya, kecil, cerdik, manis. Bintang kelas, waktu itu, fashohah, tartil,
hafalan dia yang nomor satu, sering kali teman-temannya memanggilnya dengan
“entong”, karena hampir mirip dengan namanya sendiri.dia tak pernah marah,
selalu ceria, namun kadang-kadng sering buat ulah dalam kelas untuk mengusir
kebosanannya.
Gunawan. “Gundek Menawan”haha,
bukan anaknya memang tidak terlalu tinggi, sayangnya lagi-lagi lemah dalam
membaca al-qur’an.
Firlian Suprianto, namun aku
sendiri sering memanggilnya “kubil”, salah satu nama pelawak yang bermain
dengan kirun pada zaman dahulu. Dia adik sahabatku, dan budenya pun masih
saudara denganku, dan aku tahu keluarganya sering memanggilnya kubil, karena
memang dia sering ngelawak. Tapi meskipun dia laki-laki, dia yang paling taat
dalam kelas.
Wiranto, bocah cilik imut-imut,
yang masih duduk di taman kanak-kanak ini, sekarang duduk di tingkat al-qur’an,
hmmm hebat nggak ya???tentu, tapi bacaannya masih lancar si eni.
Surya, suara menggelegar dengan
khas rockernya, selalu membuat teman-temannya menutup telinga jika dia semangat
45 untuk membaca al-qur’an.
Yoga, bocah smp yang tetep kecil,
lucu ganteng juga, sesuai dengan umurnya dia sudah lancar membaca al-qur’an
namun tinggal membenahi makhorijul hurufnya yang kurang tepat.
Mail, lelaki yang paling tua
diantara teman-temannya, bacaannya seperti kilat menyambar, kecepatannya
seperti kecepatan gasing yang sedang berputar. Yang paling lucu adalah meskipun
dia laki-laki, tapi wajahnya sangat mirip dengan ibunya, sehingga wajahnya
seperti seorang wanita.
Fadhli, adik dari mail, lucu
selalu senyam-senyum sendiri, masih belum bisa teliti dalam bacaan panjang
pendeknya.
Berbagai nuansa yang apik tertata
dalam pelangi-pelangi dalam kelas yang unik ini. Kelas yang selalu membuat para
guru naik pitam jika aku absen tak hadir untuk menemani mereka, bagaimana
tidak, jika mereka tidak ada yang mengawasi pasti keluar kelas dan bermain bantheng-banthengan
lalu berpura-pura kesurupan, sehingga mengganggu kelas-kelas lain.
Seperti
biasa, aku pulang pukul 5 sore, namun perjalananlah yang membuatku sampai
dirumah pukul 05.15, paling lambat jam setengah 6. Setelah sampai dirumah, ku
letakkan tasku di gantungan kamar. Kucari emak bapakku untuk mencium kedua
tangan mereka, setelah itu ku cari-cari di dapur dengan membawa sepiring nasi
dan makanan kesukaanku, bothokan. Hmm nyummi.
Tak
lama kemudian adzan berkumandang, segera ku ambil wudhu tuk tunaikan sholat
maghrib di masjid yang tak jauh dari rumah. Aku tak seberapa konsen pada saat
itu, yang kubayangkan ketika rukuk dan sujud adalah tugas dan ulangan
matematika yang harus ku lakoni besok. Setelah salam aku berdoa. Seklumit doa
ku titipkan pada-Nya. Setelah itu pun aku berbalik dan berlari menuju rumahku,
meletakkan mukenahku, mengambil kerudung putih bulatku, mengambil kitab hijau
diatas tumpukan buku dalam meja belajar. Ku buka halamannya
perlahan-lahan, dan ternyata sudah
sampai halaman 44. Ini adalah pelajaran yang paling aku suka di ngajian”
mukhtarul ahadits, yang berisi berbagai macam hadits. Sesampainya ditempat
ngaji aku mengikuti teman-teman untuk nadhoman “fa’ala, fa’ala, fa’aluu. Bisa
ditebak aku telat datang, bahkan setelah guruku datang aku datang. Ketika
pelajaran di mulai aku mulai mengantuk, tak sadarkan diri hingga ku meletakkan
penaku dan terbang bersama mimpiku, namun hanya sebentar saja, karena ku
terbangun oleh nada batuk temanku yang begitu keras. Alhamdulillah ya Allah aku
terbangun sebelum, aku diketahui oleh guruku karena tertidur.
Kali
ini beliau menjelaskan bagaimana orang yang berilmu di akhirat kelak jika
ilmunya hanya di simpan sendiri, mereka nanti akan dikekang oleh kekangan dari
api neraka. Hmmm. Menakutkan, setelah menutup kajiannya. Beliau mulai membuka
sesi pertanyaan “ ada yang mau bertanya?
“kulo, tapi niku mboten podo kale
topike”(dengan antusias ku acungkan jari, namun dengan bahasa mort marit yang
ku gunakan.
“iya boleh, tanglet nopo mbak
yu..mbak yuu? (jawab guruku yang sekaligus menertawakan logat jawaku.”
“ustadz, ngge bener ta, menawi
ten kitab nashoihul ibad niku wonten pernyataan “maksiato sak karepmu”
“lho..lho, jare sopo ndukkk?
(kata siapa nak?
“terose rencang kulo, hehe
“di nashoihul ibad itu
diterangkan yang intinya kalau berbuat maksiat ya silahkan tapi tahu sendiri
akibatnya bagaimana? Jadi intinya, kita itu tidak boleh berbuat maksiat, karena
setiap perbuatan kita itu harus dipertanggung jawabkan di akhirat nanti. Nashoihul
ibad kan sering di buat kajian setiap minggu di masjid, apa kamu lupa?
“oooo, ngonten to ustadz, kulo
sering mboten tumut ngaos, amargi ten masjid pasti tiang tuwo2 mawon, lan
menawi kulo mbeto kitab sing njenengan paringi niko, lan ngesahi ten masjid,
sungkan kulo kados tiang yes mawon. J
Guruku hanya tersenyum, mendengar
semua penjelasanku, “lalu kitabnya, buat bantal tidur?
“mboten ustadz, kan mpun katah
bantal ten griyo.
lagi-lagi pak ustadz hanya
tersenyum, sembari menutup pengajian dengan doa.
Hari telah esok, ku lalui
aktivitas ku seperti biasa-biasanya, hingga sampailah pada sore hari, ketika ku
sampai di kelas aku kaget kenapa mail, surya, dan yoga tidak ada
dikelas?padahal biasanya mereka orang pertama yang tidak pernah absen membuat
gaduh dalam kelas. “fadhil, kakakmu, yoga dan surya kemana?
“ke belakang mbak..
“nah lho kenapa kebelakang harus
rombongan? Aku terheran-heran, 15 menit kemudian mereka datang,
“dari mana kalian nak? Mereka tidak
menjawab. Aku hanya meminta mereka membaca istighfar 21 kali sembari berdiri,
aku pun juga belum paham, tidak biasanya mereka menunduk seakan-akan menyesali apa
yang telah mereka perbuat. Tidak biasanya mereka seperti itu. Ku lanjutkan
dengan kegiatan belajar mengajarnya, di penghujung doa akan pulang. Mail memohon kepadaku “mbak
bolehkah kami memohon sesuatu?
“apa itu?
“embak tutup mata, 20 detik saja,
bolehkan?
“kenapa?
“sudahlah kali ini saja kami
mohon.
“baiklah” aku pasrah menuruti
permintaan mereka karena tidak tega melihat mail dengan wajah memelas akibat
hukuman tadi, surya, yoga, putri semua anak-anak disitu menghitung mundur 20,
19, ...., 3, 2,1 aku mulai membuka mata sesuai dengan janji ku itu “subhanallah
aku kaget, di depanku ada kotak seukuran 45 x 20, yang terbungkus rapi, “apa
ini? “ayo dibuka mbak! Suara mereka kompak,
Ku buka perlahan dan sandal japit
hijau bermotif kupu-kupu, yang elok, sekarang di depan mataku. Subhanallah, dan
akhirnya aku menyadari bahwa hari ini adalah ulang tahunku. Mail mulai bicara,
maaf mbak tadi aku, yoga, dan surya terlambat masuk kelas karena kami membeli
ini di toko p.darsono, maaf juga karena kami mengambil sementara sandal embak
tadi untuk menyesuaikan ukurannya. Aku jadi malu karena memang sandalku hanya
tinggal beberapa mili saja tebalnya, karena selalu ku buat berlari dan tentunya
bergesekan dengan tanah2 sawah, hingga gripis. Tapi aku juga tidak menyangka
bahwa anak-anak kecil yang masih ingusan sangat memperhatikanku, subhanallah
malaikat-malaikat kecilku, yang selalu menemaniku dalam doa setiap kali aku
hendak ujian, unas, ataupun lomba. Dan mereka pulalah orang yang pertama yang
mengingat tanggal lahirku, dan menyertakan al-fatihahnya di umurku yang kini
menginjak 17 tahun. Aku bangga dengan mereka. Seiring dengan ucapan
terimakasihku, aku membaca doa penutup, dan tak terasa air mataku berlinangan. Guru-guru
yang dari tadi di belakangku ternyata mereka menyaksikannya dan turut haru
terhadap peristiwa itu, subhanallah. Terima kasi ya Allah. “japit hijau” dengan
warna favoritku sekarang ku pakai di kakiku, mengingat mereka semoga ku juga
mengingatmu dengan kalimah-kalimah dzikir yang akan selalu menemani dalam
langkah hidupku. Subhanallah walhamdulillah wa laailaaha illallah wallahu akbar, entah seluas langit dan bumi
yang tak bisa tergambarkan olehku rahmat-Nya. Hanya senyum simpul tatkala aku
melangkah bersama japit hijau itu.