Dhuha
Entah apa yang
terjadi, malam ini tak bisa pejamkan mata, ku coba tenggelam dalam pulau kapuk,
ku benamkan kepalaku pada bantal, tak juga membawaku terlelap dalam malam yang
dingin ini, hanya bayang-bayangnya yang selalu tampak dalam angan, dosakah aku
ya Rabb, apakah aku besok akan berpuasa saja, tuk kendalikan mata dan hatiku,
bangunkan aku ya Rabb, dikala aku benar-benar terjerembab dalam kelamnya malam.
Aku linglung, tak henti-hentinya ku pikirkan tentang yang telah aku baca
kemarin malam, “tabarruj” wanita dilarang ber tabarruj (berhias) meskipun dia
dalam keadaan ta’aruf. Dia siapa? Tak juga aku berta’aruf dengannya, hanya saja
aku tak bisa berkata banyak ketika dihadapnya, bertemu dengannya mematikanku
sesaat, bagai patung tiada daya. Itulah yang sering memunculkan tanda tanya
dalam pikiranku, kenapa?kenapa?kenapa? dan yang ku tahu hanya Dia-lah yang
mengetahui jawabannya.Pikiranku benar-benar berputar seperti benang ruwet, tak
biasanya aku memikirkan baju apakah yang akan ku kenakan besok? Lalu pakai celana
apa rok? Astaghfirullah benar-benar tak karuan, apakah ini dosa? Atau sebuah
kewajaran? Semuanya bagiiku adalah membingungkan.
Sampailah ku di esok yang cerah,
langsung saja ku ambil setrika didepan kamar, ku setrika baju ungu, rok jeans,
dan kerudung ungu cerah. Beberapa jarum pentul pun siap di samping kerudung
ungu itu. Sebenarnya, rasa ini tetap seperti kemarin, tapi tidak begitu ku
pedulikan, karena aku tahu, aku hanya ingin menyampaikan surat dinas untuknya,
lagipula sudah lama kita tidak bertemu, mungkin rasa itu pun telah sirna. Tapi
anehnya, kali ini dia tidak menghubungiku sama sekali, semenjak ku putuskan
untuk memberikan surat dinas itu didepan gerbang perumahan tempat tinggalnya,
dan kata-kata “ok” yang selalu terlintas dalam pesannya. Setelah usai semuanya,
tak seperti biasa ku hanya membawa sebuah surat beramplop coklat, kulekatkan
pada map hijauku agar tak nampak luarnya, aku tak lagi membawa secuil makanan,
atau roti sisir yang senantiasa hinggap di hari pagiku, karena ku tahu, dia bukan
seperti yang dahulu, orang miskin yang kesederhanaannya telah membutakannku.
Melangkah
ku menuju tempat parkiran, ku pinjam onthel temanku, karena perumahan itu tak
jauh dari tempat kerjaku. sekitar 3 kilo. Ku kayuh sepeda merah itu dengan
sekuat tenagaku, karena aku terlanjur janji bertemu dengannya pukul 8 dan
sekarang sudah 07.45, ya Allah aku tahu betapa disiplinnya orang yang akan ku
temui ini, inginku mengirim pesan karena agak telat, tak mungkin lagi bagiku,
karena pulsaku tinggal 9 rupiah. Ya sudahlah, tak perlu kutakutkan karena dia
pasti menungguku. Tapi kata-kata apa yang akan ku ucapkan nanti? Apakah hanya
sebatas salam? Aku bingung bukan kepalang, kenapa setiap kata yang ku
persiapkan seolah olah hilang ditelan ombak, ketika aku dihadapnya?
Astaghfirullah, entahlah..., gumamku dalam hati. Semakin khawatir lagi, karena
hari ini aku lupa membaca surat AL-Fath, surat yang selalu menenangkan hatiku
di pagi dan meyakinkanku tuk melangkah di siang dan malamnya.
Tin-tin-tin,
suara klakson mobil yang bersaut-sautan membuatku ingin segera memasuki gang
menuju perumahan itu, akhirnya aku sampai juga didepan gang itu. 15 menit waktu
berlalu, jam 8 tepat aku berada di depan gang itu, sedikit lagi kucapai gerbang
perumahan yang kutuju. Rasanya bingung dan salah tingkah dengan penampilanku
yang biasa di tengah-tengah kerumunan orang elit didaerah perumahan itu. Ku pandangi
setiap sudut gerbang, tapi tak satupun kutemukan sosoknya. Ku pandangi lagi,
tak ada juga, apakah dia mengira aku akan datang di depan rumahnya? akhirnya
kumasuki perumahan itu, dan mulai mencari-carinya, tapi tak satupun orang yang
menunjukkan seperti dia, apakah mata minusku bertambah? Atau aku yang salah
kirim sms? Ku pandangi lagi pesan terkirim di handphoneku, tetap saja jam 8. Aku
tidak yakin jika dia akan lupa atau mengingkari janjinya, karena baginya insya
Allah adalah iya, dan benar-benar janji yang nyata. Apalagi kata ok? Yang tiada
keraguan sama sekali. Allahu akbar, apakah aku harus menuju gerbang perumahan
yang paling belakang? Ya, jawabku sendiri, kususuri setiap sudut perumahan, tak
satupun orang yang ku kenal, dan seperti biasa aku jadi orang yang paling norak
diantara orang-orang elit dikawasan perumahan ini. Wallahu a’lam, aku jadi
ingat siapa dirinya dulu, orang yang penuh dengan kesederhanaan, dan senyuman
khasnya yang sering membuatku meringis geli, kesabarannya yang selalu membuatku
tentram, subhanallah, apakah sekarang dia berubah? Aku pun tak tahu, sejak dia
mendapatkan beasiswa itu dan memenangkan olimpiade serta memutuskan untuk
tinggal di perumahan ini, apakah membuatnya berubah? Entahlah...
Sekian
lama ku berputar-purtar di jalur yang sama, akhirnya ku putuskan untuk berhenti
di sebuah taman tak jauh dari rumah yang ia huni, kulihat ada satu kursi di
tengah taman, entah kenapa kursi itu membuatku merasa ada kejanggalan, kenapa
kursi itu ada disitu? Apakah ini sebuah panggung sandiwara? Apakah aku termasuk
pemerannya? Masya Allah, aku tak tahu, kutemukan juga putung rokok diatas
kertas tisu, yang membuatku mengingat siapa orang yang sedang ku temui ini, entah
kenapa serasa benar-benar ada yang mendesaign semua ini, ada pula yang menghias
puntung rokok itu, padahal hanya alam yang menyibakkan daun itu jauh di atas
kertas itu. Ku amati lagi, hingga ku rasakan denyut nadi ini berdetak, mata
yang tiba-tiba tak kuat membendung air mata, subhanallah, kenapa Engkau
mengingatkan aku pada dirinya yang dulu? Berlama-lama ku di sana, akhirnya ku
putuskan untuk pulang, karena tak ada kabarpun darinya.
Tatapan
hampa yang begitu tampak dimataku, mungkin tak banyak dihiraukan oleh
orang-orang. Dan aku yang tak lagi mengharap bertemu dengannya, kepayahanku
kali ini tak bisa terbayarkan dengan apapun ketika ada puntung rokok di halaman
rumahnya. ku pandangi surat dinas itu, ingin ku lemparkan saja di tengah
jalanan ini. Tapi apalh gunanya? Aku ingin marah, tapi tak sampai hati. Aku hanya
ingin tahu alasannya kenapa dia seperti ini? Masya Allah. Astaghfirullah, jika
saja ada setan dibelakangku, maka lemparkanlah jauh-jauh dari hadapanku. Aku tak
kuasa, hingga ku putuskan untuk solat dhuha, dengan keyakinan penuh aku akan
mendapatkan ketenangan dalam sholat itu. Seusai sholat, hatiku agak tenang,
namun entah kenapa ku masih ingin tahu, kenapa kali ini dia melanggar janji. Setelah
ku mengisi pulsa, ku kirim pesan untuknya, tapi tetap saja tak dibalas olehnya.
Hingga ku putuskan untuk menelponnya. Hingga aku tau jawaban singkat “aku sik
tas tangi (aku masih bangun tidur), masya Allah tak bisa ku berkata apa-apa,
aku tak bisa berkata suara melasnya yang membuatku terbungkam, tak bisa
berfikir lagi hanya membisu, lagi-lagi darah ku terhenti tak bisa lakukan
apa-apa, hingga ku matikan hp ku tanpa sepatah kata dariku. Semakin deras pula
air mata ini, ya Allah kenapa aku tidak bisa marah?apakah karena dhuha-ku, Kau
benar-benar membuang setan itu? Tapi kenapa aku menangis?
By : zackiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar