Senin, 11 Maret 2013

Dhuha


                                                                                Dhuha
Entah apa yang terjadi, malam ini tak bisa pejamkan mata, ku coba tenggelam dalam pulau kapuk, ku benamkan kepalaku pada bantal, tak juga membawaku terlelap dalam malam yang dingin ini, hanya bayang-bayangnya yang selalu tampak dalam angan, dosakah aku ya Rabb, apakah aku besok akan berpuasa saja, tuk kendalikan mata dan hatiku, bangunkan aku ya Rabb, dikala aku benar-benar terjerembab dalam kelamnya malam. Aku linglung, tak henti-hentinya ku pikirkan tentang yang telah aku baca kemarin malam, “tabarruj” wanita dilarang ber tabarruj (berhias) meskipun dia dalam keadaan ta’aruf. Dia siapa? Tak juga aku berta’aruf dengannya, hanya saja aku tak bisa berkata banyak ketika dihadapnya, bertemu dengannya mematikanku sesaat, bagai patung tiada daya. Itulah yang sering memunculkan tanda tanya dalam pikiranku, kenapa?kenapa?kenapa? dan yang ku tahu hanya Dia-lah yang mengetahui jawabannya.Pikiranku benar-benar berputar seperti benang ruwet, tak biasanya aku memikirkan baju apakah yang akan ku kenakan besok? Lalu pakai celana apa rok? Astaghfirullah benar-benar tak karuan, apakah ini dosa? Atau sebuah kewajaran? Semuanya bagiiku adalah membingungkan.

Sampailah ku di esok yang cerah, langsung saja ku ambil setrika didepan kamar, ku setrika baju ungu, rok jeans, dan kerudung ungu cerah. Beberapa jarum pentul pun siap di samping kerudung ungu itu. Sebenarnya, rasa ini tetap seperti kemarin, tapi tidak begitu ku pedulikan, karena aku tahu, aku hanya ingin menyampaikan surat dinas untuknya, lagipula sudah lama kita tidak bertemu, mungkin rasa itu pun telah sirna. Tapi anehnya, kali ini dia tidak menghubungiku sama sekali, semenjak ku putuskan untuk memberikan surat dinas itu didepan gerbang perumahan tempat tinggalnya, dan kata-kata “ok” yang selalu terlintas dalam pesannya. Setelah usai semuanya, tak seperti biasa ku hanya membawa sebuah surat beramplop coklat, kulekatkan pada map hijauku agar tak nampak luarnya, aku tak lagi membawa secuil makanan, atau roti sisir yang senantiasa hinggap di hari pagiku, karena ku tahu, dia bukan seperti yang dahulu, orang miskin yang kesederhanaannya telah membutakannku.
                Melangkah ku menuju tempat parkiran, ku pinjam onthel temanku, karena perumahan itu tak jauh dari tempat kerjaku. sekitar 3 kilo. Ku kayuh sepeda merah itu dengan sekuat tenagaku, karena aku terlanjur janji bertemu dengannya pukul 8 dan sekarang sudah 07.45, ya Allah aku tahu betapa disiplinnya orang yang akan ku temui ini, inginku mengirim pesan karena agak telat, tak mungkin lagi bagiku, karena pulsaku tinggal 9 rupiah. Ya sudahlah, tak perlu kutakutkan karena dia pasti menungguku. Tapi kata-kata apa yang akan ku ucapkan nanti? Apakah hanya sebatas salam? Aku bingung bukan kepalang, kenapa setiap kata yang ku persiapkan seolah olah hilang ditelan ombak, ketika aku dihadapnya? Astaghfirullah, entahlah..., gumamku dalam hati. Semakin khawatir lagi, karena hari ini aku lupa membaca surat AL-Fath, surat yang selalu menenangkan hatiku di pagi dan meyakinkanku tuk melangkah di siang dan malamnya.
                Tin-tin-tin, suara klakson mobil yang bersaut-sautan membuatku ingin segera memasuki gang menuju perumahan itu, akhirnya aku sampai juga didepan gang itu. 15 menit waktu berlalu, jam 8 tepat aku berada di depan gang itu, sedikit lagi kucapai gerbang perumahan yang kutuju. Rasanya bingung dan salah tingkah dengan penampilanku yang biasa di tengah-tengah kerumunan orang elit didaerah perumahan itu. Ku pandangi setiap sudut gerbang, tapi tak satupun kutemukan sosoknya. Ku pandangi lagi, tak ada juga, apakah dia mengira aku akan datang di depan rumahnya? akhirnya kumasuki perumahan itu, dan mulai mencari-carinya, tapi tak satupun orang yang menunjukkan seperti dia, apakah mata minusku bertambah? Atau aku yang salah kirim sms? Ku pandangi lagi pesan terkirim di handphoneku, tetap saja jam 8. Aku tidak yakin jika dia akan lupa atau mengingkari janjinya, karena baginya insya Allah adalah iya, dan benar-benar janji yang nyata. Apalagi kata ok? Yang tiada keraguan sama sekali. Allahu akbar, apakah aku harus menuju gerbang perumahan yang paling belakang? Ya, jawabku sendiri, kususuri setiap sudut perumahan, tak satupun orang yang ku kenal, dan seperti biasa aku jadi orang yang paling norak diantara orang-orang elit dikawasan perumahan ini. Wallahu a’lam, aku jadi ingat siapa dirinya dulu, orang yang penuh dengan kesederhanaan, dan senyuman khasnya yang sering membuatku meringis geli, kesabarannya yang selalu membuatku tentram, subhanallah, apakah sekarang dia berubah? Aku pun tak tahu, sejak dia mendapatkan beasiswa itu dan memenangkan olimpiade serta memutuskan untuk tinggal di perumahan ini, apakah membuatnya berubah? Entahlah...
                Sekian lama ku berputar-purtar di jalur yang sama, akhirnya ku putuskan untuk berhenti di sebuah taman tak jauh dari rumah yang ia huni, kulihat ada satu kursi di tengah taman, entah kenapa kursi itu membuatku merasa ada kejanggalan, kenapa kursi itu ada disitu? Apakah ini sebuah panggung sandiwara? Apakah aku termasuk pemerannya? Masya Allah, aku tak tahu, kutemukan juga putung rokok diatas kertas tisu, yang membuatku mengingat siapa orang yang sedang ku temui ini, entah kenapa serasa benar-benar ada yang mendesaign semua ini, ada pula yang menghias puntung rokok itu, padahal hanya alam yang menyibakkan daun itu jauh di atas kertas itu. Ku amati lagi, hingga ku rasakan denyut nadi ini berdetak, mata yang tiba-tiba tak kuat membendung air mata, subhanallah, kenapa Engkau mengingatkan aku pada dirinya yang dulu? Berlama-lama ku di sana, akhirnya ku putuskan untuk pulang, karena tak ada kabarpun darinya.
                Tatapan hampa yang begitu tampak dimataku, mungkin tak banyak dihiraukan oleh orang-orang. Dan aku yang tak lagi mengharap bertemu dengannya, kepayahanku kali ini tak bisa terbayarkan dengan apapun ketika ada puntung rokok di halaman rumahnya. ku pandangi surat dinas itu, ingin ku lemparkan saja di tengah jalanan ini. Tapi apalh gunanya? Aku ingin marah, tapi tak sampai hati. Aku hanya ingin tahu alasannya kenapa dia seperti ini? Masya Allah. Astaghfirullah, jika saja ada setan dibelakangku, maka lemparkanlah jauh-jauh dari hadapanku. Aku tak kuasa, hingga ku putuskan untuk solat dhuha, dengan keyakinan penuh aku akan mendapatkan ketenangan dalam sholat itu. Seusai sholat, hatiku agak tenang, namun entah kenapa ku masih ingin tahu, kenapa kali ini dia melanggar janji. Setelah ku mengisi pulsa, ku kirim pesan untuknya, tapi tetap saja tak dibalas olehnya. Hingga ku putuskan untuk menelponnya. Hingga aku tau jawaban singkat “aku sik tas tangi (aku masih bangun tidur), masya Allah tak bisa ku berkata apa-apa, aku tak bisa berkata suara melasnya yang membuatku terbungkam, tak bisa berfikir lagi hanya membisu, lagi-lagi darah ku terhenti tak bisa lakukan apa-apa, hingga ku matikan hp ku tanpa sepatah kata dariku. Semakin deras pula air mata ini, ya Allah kenapa aku tidak bisa marah?apakah karena dhuha-ku, Kau benar-benar membuang setan itu? Tapi kenapa aku menangis?



By : zackiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar